Melihat Monyet dan Pohon Kelapa untuk Pertama Kali

Saat itu saya baru saja menurunkan penumpang di pasar seni Ubud, sengaja aplikasi saya matikan karena di sepanjang jalan ini adalah area yang berbahaya untuk penjemputan penumpang. Jika tidak dimatikan terkadang kita belum sampai ke tempat penumpang yang sedang kita antarkan sudah keburu ada orderan masuk. Hal tersebut bisa membuat pikiran dan suasana hati jadi galau. Di sepanjang jalan Monkey Forest dan jalan Raya Ubud memang banyak local transport yang stand by di sana sehingga lebih aman jika tidak mengaktifkan aplikasi di area tersebut.  
Setelah memasuki jalan Raya Andong aplikasi pun saya aktifkan kembali, dan tak berapa lama ada orderan masuk. Ubud sebenarnya memang daerah yang ramai order, tetapi tidak semua titik jemput aman untuk penjemputan. Jika salah mengambil penumpang di wilayah yang banyak transport local bisa-bisa terjadi drama yang akan berakhir buruk buat saya. Setelah chatting untuk konfirmasi lokasi penjemputan saya pun meluncur ke sebuah guest house yang tak jauh dari lokasi saya terima orderan tadi. 

Dari jauh saya sudah bisa melihat dua turis asing perempuan berambut pirang yang sudah siap menunggu penjemputan. Hal inilah yang membuat saya suka mendapatkan orderan dari bule karena rata-rata mereka sudah siap saat melakukan order, jarang sekali saya menunggu dalam waktu lama jika menjemput orang asing. Pengalaman yang berbeda jika saya menjemput penumpang lokal yang kadang mereka belum siap saat order sehingga saya harus menunggu 5 sampai 10 menit sampai mereka datang. 

Kembali ke penumpang saya, masing-masing dari mereka membawa backpack tinggi besar di punggung. Salah seorang melihat smartphonenya dan beralih menoleh ke plat mobil saya. Dia pun tersenyum dan mengangguk ke teman yang ada  di sebelahnya. 
“Hallo, Miss Ane” sapa saya
"Yes.. Zemi?" Balas dia.
Saya buka bagasi dan mereka meletakkan backpacknya. 
" So our destination is in Pecatu, right?
“ Yess, correct ” sahut Miss Ane tersenyum
Tak berapa lama kemudian saya putar arah mobil menuju selatan ke arah Pecatu. Di sepanjang perjalanan kami mengobrol seru. Ternyata mereka adalah backpacker muda dari Stockholm, Swedia. Mereka baru lulus sekolah setingkat SMU dan memulai perjalanan keluar Eropa. Ini adalah pertama kali mereka menjelajah Asia dan sepanjang perjalanan mereka memuji keindahan Bali. Mereka mengatakan sangat menyukai Bali. Banyak pura indah yang sudah mereka kunjungi, pantai dan sawah terasering yang membuat mereka takjub karena memang keadaan alam di Swedia berbeda dengan di Bali. Mereka sudah mengunjungi monkey forest dan sangat menyukainya. Bahkan mereka bilang bahwa ini adalah pertama kalinya mereka melihat monyet dan pohon kelapa dalam seumur hidupnya. Saya pun tersenyum mendengar cerita antusias dari bule-bule muda itu. Miss Ane dan temannya sangat bersemangat menceritakan tentang makanan-makanan yang enak di sini. Hampir setiap hari mereka makan nasi goreng dan mie goreng. Es kelapa muda juga menjadi minuman favoritnya selama mereka berada di Bali. Mereka juga sangat bangga karena bisa memetik buah mangga langsung dari pohonnya saat menginap di guest house yang pemiliknya memiliki beberapa pohon mangga yang sedang berbuah. Akhirnya saya pun buka kartu bahwa saya juga belum pernah melihat salju, mereka terpana heran dan menyuruh saya untuk mengunjungi Swedia saat musim dingin untuk melihat salju. Saya hanya mengiyakan saja pernyataan mereka, dan mudah-mudahan suatu saat niat saya untuk melihat salju bisa terlaksana.
Saat itu adalah bulan Januari sehingga merupakan saat musim dingin di Swedia, Eropa dan belahan bumi Utara yang lain. Penumpang saya mengatakan sangat iri dengan penduduk Indonesia karena di sini punya matahari yang bersinar sepanjang tahun. Dalam hati saya tertawa karena saking banyaknya terpapar sinar matahari tropis kita malah kadang mengeluh dan selalu komplain dengan cuaca yang sangat panas di sini. 

Miss Anne juga bertanya kenapa orang naik motor menggunakan jaket, sarung tangan dan masker padahal di Bali kan nggak ada musim dingin. Saya sampaikan bahwa orang tidak ingin kulitnya lebih hitam sehingga mereka menggunakan jaket dan sarung tangan. Mendengar jawaban saya mereka sangat heran, padahal salah satu tujuan mereka berwisata ke negara tropis adalah supaya kulit mereka jadi lebih hitam dan gelap, sangat kontras dengan keinginan sebagian besar orang Indonesia yang ingin kulitnya lebih putih. 

Tak terasa perjalanan sekitar satu setengah jam sudah sampai ke tujuan di daerah Pecatu. Saking asyiknya mengobrol waktu yang lama jadi tak terasa. Setelah menurunkan backpack, mereka pun membayar dan memberikan tip yang lumayan sebagai ucapan terima kasih karena sudah mengantar mereka ke tujuan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terjadi KDRT di Mobil Saya

Do Yo Want Some Bintang?

Penumpang dari Manakah yang paling Royal Tip?